Production Notes

Produced by Dave Nelson and Danius Kesminas

Recorded and sound engineered by Kenonus Hasianda S at Bridge Music Workstation, Yogyakarta, March 2006

Mixed by Dave Nelson at Nelsonics, Melbourne, April-July 2006

Mastered by John Ruberto at Crystal, Melbourne, July 2006

Management, arak supplies and logistics by Gentong

KSP: Kristiantoro Seri PUNKASILA gun guitars hand-carved by Adhik Kristiantoro

Embossed and lined hard cases by Pak Manto

Camouflage patterned batik hand painted by Abdul Mufid

Military fatigues tailored by Nia-Nio

Wayang stylised PUNKASILA puppets by Pius Sigit Kuncoro

Acronym consultant: Antariksa

“Kamus PUNKASILA: Akronim, Inisialisme dan Singkatan (AIDS)” dictionary of 28.000 Indonesian acronyms compiled bu Agatha Parsidi, adapted by PUNKASILA and designed by Iwan Effendi

Photography by Edwin “Dolly” Roseno

Supported by Darren Knight Gallery, Revolver – Archiv fur Aktuelle Kunst, Arts Victoria, Asialink and IVAA

Liner Notes

PUNKASILA adalah sebuah proyek seni yang diinisiasi oleh Danius Kesminas, seniman multidisiplin asal Melbourne – Australia. Proyek ini dikerjakannya dalam rangka program residensi seni di Cemeti Art Foundation (sekarang Indonesian Visual Art Archive) di Yogyakarta pada tahun 2006. Danius berkolaborasi dengan seniman asal Yogyakarta: Uji Hahan, Iyok Prayogo, Rudy Atjeh, Janu Satmoko, Moki, Krisna Widiathama dan Wimo Ambala Bayang. Nama PUNKASILA merupakan gabungan antara ‘punk’ dan ‘Pancasila’, bisa diartikan sebagai prinsip-prinsip/sila-sila punk, punk pancasilais, atau hanya sekedar plesetan belaka.

Konsep “Acronym Wars” muncul saat Danius membaca sebuah buku berjudul “The Politics of Indonesia” karangan Damien Kingsbury. Saat membaca buku ini, ia tak henti-hentinya membolak-balik halaman indeks akronim. Ia menjumpai ribuan akronim dalam buku tersebut. Mulai dari RI, NKRI, ABRI, TNI, RPKAD, PKI, PNI, Masyumi, KORPRI, DOM hingga ribuan akronim lain yang umum dijumpai di Indonesia (FPI, JIL, KFC). Setelah memahami akronim dan plesetan akronim tersebut yang berkembang di masyarakat, kemudian ia menuangkannya dalam tema lagu. Mendengarkan lirik lagu tersebut, kita seolah-olah dihadapkan pada sebuah serbuan yel-yel yang diteriakkan berulangkali. Sebuah rangkuman super-kilat atas diskursus politik, sosial dan budaya di Indonesia.

Selain musik, band ini juga dilengkapi dengan aneka ragam medium. Seperangkat gitar dan bass yang berbentuk senapan AK47, M80 dan M16, mikrofon berbentuk geranat tangan, seragam batik bermotif militer, video musik, komik, lukisan, lambang dan pernak-pernik merchandise yang secara keseluruhan mengacu pada tema yang sama. Performa militerisme yang acak-adul merujuk pada milisi gerilyawan ketimbang lembaga militer negara.

Peluncuran album dan pameran diselenggarakan di Kedai Kebun Forum pada tahun 2007 dengan tajuk “Permission To Fire/Conspicuous Objects”. Selain tur di Yogyakarta, Semarang, Jakarta dan Bandung, PUNKASILA juga menggelar pameran dan pertunjukan di Sydney, Brisbane, Melbourne dan tampil di Tenth Biennale of Havana, Cuba.

Video PUNKASILA di YouTube menuai banyak komentar keras yang menganggap band ini anti nasionalisme, antek bule, menghina Pancasila dan cercaan lainnya. Membuka wacana kritis memang selalu menuai perdebatan sengit. Terutama di negeri yang masyarakatnya grogi menanggapi kebebasan pendapat dan demokrasi paska reformasi. (Wok The Rock)