Production Notes

Performances recorded between 2017-2019 in East Sumba
Recorded, mixed and mastered by Joseph Lamont
Cover designed by Harsya Wahono
Photos by Joseph Lamont

This album is dedicated to Hamba Takamara (1930-2018)

Track 1. “Jiaka ninya napa mbaili”
 Jungga and Vocal: Kahi Ata Ratu. Recorded outside her house in Desa Palanggay, East Sumba on 02.11.2017

Track 2. “Barangu na etingu”
 Jungga and Vocal: Bung Ndotur. Recorded inside his house in Desa Kambumoru, East Sumba on 08.01.2018

Track 3. “Rambu kuna mu kau” Jungga and Vocal: Jekson. Recorded on the porch of his house in Desa Kamanggi, East Sumba on 03.05.2018

Track 4. “Nahanduka na eti nggu” Jungga and Vocal: Haingu. Recorded on the porch of his house in Desa Patawang, East Sumba on 17.06.2017

Track 5. “Ai kanggiki na umayau biangga duku eri” Jungga and Vocal: Haling. Recorded inside his house in Desa Mbatakapidu, East Sumba on 11.02.2018

Track 6. “Lua kau pandengi” Jungga and Vocal: Purra Tanya. Recorded on the porch of his house in Desa Lambanapu, East Sumba on 07.12.2016. This recording session was co-produced by Palmer Keen

Track 7: “Pamandu nyana randi nda jaka hili ngu nggau” Jungga and Vocal: Amsel Lukanapu. Recorded behind his house in Desa Palanggay, East Sumba on 05.06.2018

Track 8: “Nggara mbawa nggara mai wu nggoi paduku” Jungga and Vocal: Muhu Yawang. Recorded on his porch in Desa Laimandar, East Sumba on 12.12.2017

Track 9: “Daningu anda monungu” Jungga and Vocal: Ata Ratu. Recorded outside on communal clan lands in Desa Rindi, East Sumba 06.06.2018

Special thanks to Rambu Kahi Ata Ratu, Rambu Nency Dwi Ratna, Yonas Sestakresna and Tukad Abu crew, Mama Nggedi, Sanggar Ori Angu, Mike Tuori, Harsya Wahono, Wok The Rock, Umbu Elthon Haumara, Umbu Paranggi Mahabar, Umbu Mattius Ranggaly, Umbu Kububu Palindima, Rambu Matha Hebi, Umbu Retang Wohangara, Umbu Nai Yuku, Umbu Maundima and Rambu Mbabu

Supported by Ciptamedia, Wikimedia Indonesia, Ford Foundation and Organ Budaya Indonesia

Liner Notes

Kumpulan nyanyian jungga dalam album Ludu Humba (Lagu Sumba) ini menyiratkan dua irisan penting yang nyaris selalu tersirat dalam kaidah estetika musik Nusantara: kompleks, sekaligus sederhana. Musik-musik di album ini, yang seolah terasa simpel (apa adanya), ternyata menyimpan kerumitan dalam struktur, tidak mudah “dicover” oleh anak band atau biduan yang terbiasa “aman dan tentram” dalam hitungan irama umum (2 atau 4). Cobalah. Dengan begitu kita sudah punya satu kata kunci awal untuk membedah kekuatannya: polimetrik, sebuah “seni matematika musik”. 

Selingan dalam satu frasa lagu menuju frasa berikutnya bisa berbeda-beda. Dan itu seakan mengalir kuat dalam sanubari para junggais ini, dalam batas spontan dan intuitif. Dalam satu frasa kadang jedanya cuma 6 ketuk, kadang 5, kadang bisa juga diulur jadi 13 atau sesukanya. Atau, jika kita tidak ingin pusing, kita bisa kembali memutar waktu menyusuri jejak-jejak musik-musik gregorian Romawi yang melismatik, mengalir tanpa diikat sukat yang seragam. Begitulah, 4/4 telah lama membunuh keberagaman musik dunia, dan itu tidak berlaku di lagu-lagu Sumba ini, juga ribuan tradisi musik Nusantara lainnya yang lentur terhadap hukum waktu. 

Oh ya, selain itu perlu juga untuk mengetahui adanya unisonal heterofonik, yaitu tekstur dua jalur melodi (vokal dan jungga) yang berbunyi hampir paralel, seolah sama, tapi tidak selalu persis, semacam mirip, saling mengikuti (membuntuti), seperti kanonik, hingga membentuk jalinan antar nada yang menguatkan satu sama lain, meskipun itu tersusun acak. 

Unsur monochord (mono akor) yang diolah dalam homoritmik, yang menjadi penyangga/fondasi pada tiap lagu, tidak boleh semena-mena kita bilang itu “monoton” atau membosankan, akibatnya kuwalat! Itu justru kekuatan terselubung dalam musik tradisi Nusantara yang erat kaitannya dengan pencapaian trance karena didukung frekuensi dalam range dan amplitudo yang stabil, berpotensi untuk tidak membingungkan syaraf. Pesan-pesan yang disampaikan pun akan lebih mudah diingat memori. 

Tak heran bahwa musik jungga juga merupakan terapi, yang tidak saja karena syairnya mewakili konflik nyata kehidupan masyarakatnya: asmara, perpisahan, politik, lingkungan, alam, dst., tetapi juga disebabkan energi-energi tersembunyi dari balik bunyi dawai mereka. 

Ada tips yang mungkin penting: mendengarkan album ini jangan sekali-sekali bermodal selera (terlebih fanatisme) seperti layaknya kita mendengar musik pop! Akibatnya mustahil bisa sampai pada sublimasi “penghayatannya.” 

Memang sedikit pengecualian untuk kita yang tidak mengetahui terjemahan bahasa Kambera yang dipakai pada tiap lagu, lalu bagaimana bisa mengerti makna lagunya? Hubungilah penerjemah, selesai. Tapi sejujurnya itu akan berpotensi mengurangi otentiknya lagu-lagu ini, yang dalam bentangan bahasa aslinya sudah tertanam “fonem-fonem” lokal yang jenius, “bunyi” kata-kata-nya adalah juga “maknanya”, bukan sekadar arti bahasa-nya. 

Jancuk!!” (dengan dua tanda seru), misalnya, dari bunyinya ketika diucapkan saja sudah “menarik”, ada makna, dan itu tak pernah punya terjemahan yang paling pas: apakah maksudnya guyon atau serius—tapi ada ikatan batin interpersonal yang kuat (?) Dalam dimensi tersebut, menikmati bunyi “syair-syair” di album ini tanpa mengerti arti bahasanya pun, bagi saya, adalah keniscayaan, juga tidak dilarang Tuhan. Memang ada yang kurang, tapi cobalah bertahan menikmati seluruh rangkaian bunyinya dulu. 

Lalu bertamasyalah ke karakteristik warna suara tiap “vokalisnya”, kedengaran mirip-mirip gayanya. Itu sekaligus menyiratkan beragam lapisan atmosfer teknik-teknik vokal Nusantara yang unik. Resonansi yang mereka bentuk umumnya cenderung berada di sekitar rongga mulut, sementara spektrum suaranya berada di sekitar leher/tenggorokan. Perhatikan juga: adanya penekanan ujung lidah mengakibatkan leher atas seperti tertekan sehingga menghasilkan suara serak-serak natural, sedikit sengau/bindeng, namun selalu bertahan dalam intonasi dan artikulasi yang jelas! Ini hebat sekali! Inilah yang khas dari para junggais ini. 

Kemudian kita mendarat menelusuri nukilan makna syairnya, yang begitu sederhana. Sepenggal dari Haling, track 5 di album ini: 

Ai rongu wa ha nyumu eri
(Dengarkan aku kekasihku)

Rambu nyummu ma ninggau la eti nggu latti rambu
(Kamulah yang ada di dalam hatiku kasihku)

Kanggiki ndau mayau biangga dukku eri
(Mengapa kau mengacuhkan aku)

Milli tu ana bau rongu ka dukku eri
(Yang penting kau mendengarkanku)

Bakku haliyaka ni na mayau mungga
(Kini ku membayangkan sikap acuhmu padaku)

Makahiawa ya lapa namunggu nda a ai
(Sia-sialah rasa sayang ini)

Milli tu anna ku kamahi nggu nggau nyumu eri
(Yang penting aku telah menyampaikan padamu)

Baku hawiti yanna pahiawa nda
(Aku membayangkan perpisahan kita)

Kahiawa anna ka ni,napa olli nda naii rambu
(Sia-sia sudah kebersamaan kita selama ini)

Ada terlintas apa di benak Anda ketika mengerti terjemahannya?
Juga di lagu dari Haingu, track 4 di album ini:

Aii lua arru kau pani ni kinyai rambu
(Pergi beritahukan kepada dia/cintaku)

Kanna mai a nammu ai la pa rongu ya angu 
(Agar dia datang dan mendengarkanku)

Nggara anda ya hina mbullangga na eri nggu ninna aa ai
(Mengapa dia pergi menghilang dariku)

Mu kamandaluwa kau rongu ka rambu
(Tenanglah dan dengarkan aku cintaku)

Baku haliya na handuka nggu rmbu
(Saya ingin menceritakan kesedihanku)

Ndaku pi anya nu na ihhi wini eti mu rambu a ai
(Saya tidak tahu isi hatimu cinta)

*

Serba sederhana. Tapi itulah kekuatannya. 

Mengutip Joseph Lamont: “Ata Ratu menilai keberhasilan lagu cinta tentang perpisahan yang dipaksakan adalah kemampuannya membuat penonton menangis. Muhu Yawang menekankan pentingnya bagi penulis lagu Jungga untuk dapat merespon secara spontan terhadap situasi apa pun yang dapat hadir dari penonton dengan narasi yang dibuat dengan baik dan tepat (mengena). Lagu-lagu Jungga di puncak kekuatannya, adalah memiliki kemampuan untuk memperbaiki hubungan yang rusak, untuk merayu seorang kekasih, menyembuhkan hati yang hancur, untuk menghibur yang berduka dan untuk melarang air mata, menggantinya dengan tawa dan dansa.” (Baca juga ulasan Joseph Lamont yang ada di file download).

Pada sisi lain, rekaman ini melengkapi apa yang sudah dikerjakan oleh Philip Yampolsky dan rekan-rekan etnomusikolog dalam 20 volume dokumentasi “Music of Indonesia” dari Smithsonian Folkways dua puluh tahunan yang lalu, khususnya rekaman ini melengkapi volume ke-20 yang khusus mengenai dawai (Indonesian Guitars). 

Dawai dan nyanyian adalah sejarah panjang musik Nusantara. Dengarkanlah secara seksama album ini, pahamilah sedalam-dalamnya. Dan ini baru satu, di antara ribuan tradisi musikal Nusantara lainnya! Dijamin bergizi untuk telinga dan wawasan Anda. (Erie Setiawan) 

The Jungga songs compilation on Ludu Humba (Songs of Sumba) has implied two important overlapped aspects that embed in the music aesthetics of this Archipelago: complexity yet simplicity. The music in this album can be perceived as somewhat simple yet it contains a complex structure which aren’t easy to “cover” by any music band or singer. Especially for those who find comfort in ordinary beat counts (by 2 or 4). Try it. Therefore we have one basic keyword to understand the strength of this music: polymeric, the art of musical math.

The interlude between one song phrase and other can be different. And somehow it strongly flow in the heart of the Junggais, on the edge between spontaneity and intuitiveness. In one phrase, the gap is 6 taps, yet sometimes 5 and can be stretched to 13 or as they like. Or if we don’t want to get dizzy, we can turn back the time and go through the traces of melismatic Roman Gregorian music that flows without being bound to uniformity. That’s how the 4/4 beats kill the variety of world music, and it is not applied to this Sumba songs, and other traditional music from the Archipelago that bends with the law of time.

Oh also, it is important to know about heterophony unisonal: texture of two melodic paths (vocal and Jungga) that sounded almost parallel, as if they are the similar, but not always the same. They are look alike, follow each other, like canon, then notes become interwoven and emphasize each other, although randomly.

Mono chord aspect within the homorhythm and sustain each song, can’t be called recklessly as monotone or boring. We’ll be damned! It is actually the hidden strength in music from this Archipelago that strongly ties effort to achieve trance due to the frequency on range and stable amplitude. This creates potential for our nerves to become more firm and receive the messages easily.

Therefore Jungga music is also a therapy, not only because its lyrics on real conflicts within the society; romance, farewell, politics, environment, nature, etc. This effect is caused by hidden energies from the sound of their strings.

I have possibly an important tip: never listen this song with taste and even faniticism to pop music! We will never reach the utmost sublimation in our comprehension process.

Of course there will be exception for us who doesn’t understand the translation of Kambera Language in these songs. How can we understand the meaning? Just contact the translator. But to be honest, translation will reduce the authenticity of these songs and its own language with brilliant local phoneme. Even the sound of words has meaning, not only from the language.

For example, “jancuk!!” (translator note: a swear word in East Java language) has an interesting sound with meaning but no exact translation: whether it is said as joke or insult —but there is a strong esoteric ties between people. In this aspect, enjoying the sound of lyrics in this album without understanding the meaning is a definite condition and God will not forbid us. Sure there will be something lost but try to enjoy the string of sound first.

Next let’s have a look at the characteristic of voice in each vocalist. They sound a bit similar. This show the variety of unique vocal techniques in this Archipelago. Their resonance is located in the mouth cavity while the spectrum is in the throat or neck. Pay attention to emphasis in the tip of tongue which cause neck pressure and create natural husky voice with a little bit of nasal sound. This sound last within their clear intonation and articulation. This is excellent quality is special to the Junggaist.

Then we are landed in the excerpt of their simple lyrics. One part from Haling, track 5 in this album:

Ai rongu wa ha nyumu eri
(Dengarkan aku kekasihku)

Rambu nyummu ma ninggau la eti nggu latti rambu
(Kamulah yang ada di dalam hatiku kasihku)

Kanggiki ndau mayau biangga dukku eri
(Mengapa kau mengacuhkan aku)

Milli tu ana bau rongu ka dukku eri
(Yang penting kau mendengarkanku)

Bakku haliyaka ni na mayau mungga
(Kini ku membayangkan sikap acuhmu padaku)

Makahiawa ya lapa namunggu nda a ai
(Sia-sialah rasa sayang ini)

Milli tu anna ku kamahi nggu nggau nyumu eri
(Yang penting aku telah menyampaikan padamu)

Baku hawiti yanna pahiawa nda
(Aku membayangkan perpisahan kita)

Kahiawa anna ka ni,napa olli nda naii rambu
(Sia-sia sudah kebersamaan kita selama ini)

What cross your mind when you understand the translation?

Also from Haingu, the fourth track in this album:

Aii lua arru kau pani ni kinyai rambu
(Pergi beritahukan kepada dia/cintaku)

Kanna mai a nammu ai la pa rongu ya angu 
(Agar dia datang dan mendengarkanku)

Nggara anda ya hina mbullangga na eri nggu ninna aa ai
(Mengapa dia pergi menghilang dariku)

Mu kamandaluwa kau rongu ka rambu
(Tenanglah dan dengarkan aku cintaku)

Baku haliya na handuka nggu rmbu
(Saya ingin menceritakan kesedihanku)

Ndaku pi anya nu na ihhi wini eti mu rambu a ai
(Saya tidak tahu isi hatimu cinta)

*

Everything is simple yet that is their strong point.

In quoting Joseph Lamont: “For Ata Ratu, the success of love song on forced farewell is in the ability to make the audience cry. Muhu Yawang has emphasize on the importance of Jungga song writer to spontaneusly respond to any kind of situation from the audience with good narration that hits the heart. Jungga songs at its can be used for repairing damage relation, seduce lover, mend broken heart, forbid tears and replace it with laugh and dance.” (Check out Joseph Lamont’s review included in the download files)

On the other hand, this recording has completed what Philip Yampolsky and his Ethnomusicologist peers in the 20 volumes of “Music of Indonesia” from Smithsonian Folkways in 20 years ago. Especially this recording completes the 20th volume on Indonesian strings.

Strings and singing are part of a long music history in this Archipelago. Listen to this record carefully and try to grasp the deep meaning. This is just one part out of thousands of musical tradition from the Archipelago! Certainly this is nutritious for your ear and knowledge. (Erie Setiawan)