Production Notes

Produced by KUNCI Cultural Studies Center

Compiled by Wok The Rock

Cever design by Wok The Rock

Photo by Cosilia Wulandari taken from “Here, There and Everywhere” series

Track 01 taken from “Menaralara” EP, self-released, 2010. Original song written by Aminos.

Track 02 taken from the album “Progressive Metal Cover”, self-rekeased, 2010. Originally written by Abuy, performed by Lissa.

Track 03 released by kitschelektrowerk. Originally written and performed by Tika

Track 04 taken from “Mimpi Diraju”, Mutiara, 1970. Lyrics written by Usyi. Originally written by Serge Gainsbourg, performed by Jane Birkin.

Track 05 taken from “Starlit Carousel”, Yes No Wave Music, 2010. Originally written and performed by Melancholic Bitch.

Track 06 originally titled “I Don’t Want To Talk About It”, performed by Rod Stewart.

Track 07 released by Shorthand Phonetics, 2010. Originally written and performed by Pure Saturday.

Track 08 taken from “Trilogi Peradaban”, Yes No Wave Music, 2009. Originally written by Ibu Soed.

Track 09 taken from “Electronic Revolution”, self released, 2000. Originally written by John Sonny Tobing.

Track 10 released by Bibir Merah Berdarah. Lyrics taken from a poetry written by WS Rendra.

Liner Notes

Sejarah telah mencatat proses perkembangan band-band tribute di Indonesia. Beberapa musisi mengawali karier musiknya melalui band-band tribute. Cikini Stone Complex yang sering mengkover lagu The Rolling Stones, merupakan cikal bakal dari grup Slank. Pada akhir 1980-an, beberapa band yang sering tampil di Pid Pub, Jakarta, juga memiliki “inspirasi” masing-masing, seperti Roxx (Metallica, Anthrax), Sucker Head (Kreator, Sepultura), dan Parau (DRI, MOD). Bahkan pada tahun 1985, sebuah konser musik digelar di Balai Sidang Jakarta, dengan menghadirkan band/musisi tribute, seperti Cockpit (Genesis), Bharata (The Beatles), Ikang Fawzi (Rod Stewart), Acid Speed Band (The Rolling Stones), Gito Rollies (James Brown), Solid 80 (Queen).

Aksi tribute ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1960-an. Pada era tersebut, musisi Indonesia dengan pengaruh Barat, lahir dari kalangan kelas menengah atas yang memiliki akses pada piringan hitam. Musisi seperti The Beatles, Everly Brothers, The Blue Diamonds, hadir menjadi panutan/inspirasi. Beberapa musisi bahkan menggunakan lirik, melodi, dan gaya dari musisi Barat panutannya, ke dalam lagu ciptaan mereka sendiri. Misalnya pada tahun 1970-an, Titiek Sandora merilis lagu berjudul Mimpi Diraju. Lagu ini merupakan terjemahan bebas dari lagu “Je t’aime.. moi non plus” milik Jane Birkin dan Serge Gainsbourg. Lagu “Je t’aime.. moi non plus” dipilih untuk diterjemahkan karena kepopuleran lagu tersebut di Barat, pada tahun 1969. Titiek Sandora juga melakukan hal serupa lewat lagu Datanglah Kasih yang menggunakan melodi lagu “Hey Jude” milik The Beatles. Lagu-lagu ini didistribusikan secara bebas, karena sistem hak cipta yang berlaku di Indonesia, pada saat itu.

Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda menyatakan bahwa Indonesia tidak ikut serta dalam Konvensi Bern. Ketidaksertaan Indonesia dalam persetujuan Internasional mengenai hak cipta ini, menjadikan masyarakat Indonesia, termasuk Titiek Sandora, dapat menggunakan materi karya siapapun secara bebas. Berkat kebijakan ini, muncul cukup banyak musisi yang menyadur/menerjemahkan/memodifikasi lagu-lagu asing menjadi lagu “baru” untuk dipasarkan. Selain Titiek Sandora, masih ada Saimima Sisters, Pattie Bersaudara, Lilis Surjani, Benjamin Sueb, dan banyak lagi.

Tahun 1982, pemerintah mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912, dan menggantinya dengan UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, undang-undang hak cipta pertama di Indonesia. Namun berlakunya undang-undang ini belum disertai dengan praktik perlindungan hak cipta yang ketat. Beberapa perusahaan mendistribusikan album musik asing di Indonesia, tanpa lisensi atau persetujuan resmi dari distributor resmi di negara asal album-album tersebut. Praktik menyadur/menerjemahkan/memodifikasi lagu-lagu asing dalam musik juga masih terus berlangsung pada periode ini, salah satu contohnya adalah Billy Eden yang menerjemahkan lagu Suzanna milik The Art Company, dengan lirik terkenal “Susana, duduk di sofa..”. Musisi yang populer melakukan praktik ini adalah Johan Untung.

Praktik-praktik ini akhirnya dibatasi pada tahun 1988. Pada paruh kedua dekade 1980-an, Indonesia mendapatkan tekanan untuk menerapkan hak cipta secara tegas. Tekanan asing ini muncul akibat kecaman Bob Geldoff di sebuah forum internasional pada tahun 1985. Bob Geldoff, pada sebuah perjalanannya ke Indoensia, menemukan album kaset konser Living Aid miliknya yang bertuliskan “Made In Indonesia” dengan pita cukai RI. Padahal Bob Geldoff tidak pernah merilis album konsernya dalam bentuk kaset. Tekanan dari Masyarakat Ekonomi Eropa & Amerika, serta ancaman pembatasan ekspor, membuat Indonesia akhirnya menandatangani perjanjian untuk menghormati hak cipta, pada April 1988.

Setelah keputusan ini, penjualan kaset asing yang mendominasi sejak tahun 1970-an mulai surut. Musisi Indonesia juga tidak dapat menggunakan materi milik musisi asing tanpa ijin. Praktik yang dilakukan oleh Titiek Sandora dan kawan-kawan dikategorikan sebagai perbuatan ilegal.

Pada periode setelah tahun 1988, praktik serupa masih terjadi di musik Indonesia. Namun tidak sebanyak di periode ‘60-an, ‘70-an, dan ‘80-an. Salah satunya adalah Padhyangan Project yang memodifikasi lagu “That’s The Way Love Goes” milik Janet Jackson lewat lagu “Nasib Anak Kost”, pada tahun 1993. Praktik tribute lebih banyak terjadi dalam konser musik live atau album-album underground. Perkembangan internet juga mempermudah siapapun untuk membagikan karya “tribute” miliknya tanpa harus berurusan dengan royalti dan hak cipta.

Dalam kompilasi Megamix Militia Volume 2, kita dapat melihat variasi jenis aksi tribute yang dilakukan oleh berbagai musisi, dalam berbagi periode. Periode tahun ‘60-an diwakili oleh lagu Mimpi Diraju milik Titiek Sandora yang telah disebutkan di awal tulisan. Periode ’80-an diwakili oleh Johan Untung dalam Hati yang Luka yang menggunakan melodi lagu “I Don’t Want To Talk About It” milik Rod Stewart. The Upstairs menyanyikan lagu rakyat Sumatra Barat, “Kampuang Nun Jauh Dimato”, yang merupakan bagian dari domain umum dan tidak berhak cipta. Jeje GuitarAddict, Shorhand Phonetics, dan kitschelektrowerk merupakan contoh musisi yang memodifikasi lagu orang lain, dan mendistribusikannya lewat internet. Frau menggubah lagu Melancholic Bitch dan ia rekam bersama dengan vokalis band tersebut. Zoo menyanyikan lagu wajib nasional, Berkibarlah Benderaku, karya Ibu Soed. Teknoshit memodifikasi lagu mars demonstrasi ’90-an, Darah Juang, karya John Tobing. Sedangkan Bibir Merah Berdarah, menggunakan puisi milik WS Rendra sebagai lirik lagu, dalam Sajak Sebatang Lisong. Selain variasi aksi tribute, Megamix Militia Vol. 2 juga menunjukkan kemungkinan-kemungkinan kolaborasi yang telah dieksplorasi oleh para musisi dalam kompilasi ini.

(Syafiatudina)