Production Notes

Barakatak:
Aam: Vokal
Didi: Vokal
Yayat: Vokal
Hana: Vokal
Produser: Ronny Load
Mixing & Mastering: Ronny Load
Desain sampul: Marshal Pardede

Liner Notes

“Kalau dulu, Barakatak mah sebelum manggung biasa naik mobil yang lantainya dibanjiri kertas cap muka Soeharto!”

Kalimat tersebut keluar dari Ronny Load, produser di belakang Barakatak. Pertemuan kami terjadi pada tahun 2015 di sebuah kafe bernama Rockstar yang terletak di pinggir Bandung Timur. Kata-kata tersebut keluar ketika Omron (sapaan saya kepadanya) mengingat bagaimana Barakatak hidup foya-foya di tahun 90an. Ia bercerita bahwa musik house—atau ajeb-ajeb—pada saat itu sedang digas mampus oleh label-label macam Akurama, GP Records, Blackboard, dan Nagaswara; yang pertama adalah label yang juga membesarkan dan merilis album-album house Barakatak. Gempuran house ini disinyalir lumrah mengingat peristiwa rave di Indonesia pada dekade 90an tidak hanya dimiliki oleh kaum elit necis Orde Baru, tapi juga daerah periferal yang jarang tersentuh perkembangan musik dan pesta paling mutakhir. Cairnya musik house yang bisa berasimilasi dengan bentuk-bentuk musik lain menjadikannya musik sehari-hari yang familiar di segala lini masyarakat; dari mulai tersiarkan di dentuman speaker treble angkot Riung Bandung-Dago sampai ke sirkulasinya di jaringan-jaringan radio berstiker ORARI. Namun, yang membuat Barakatak berbeda dalam gempita musik house pada saat itu adalah keenganan mereka untuk bermain aman; jika Amry Palu sibuk bereksperimen antara house, dangdut, ragam Melayu, dan sedikit dancehall reggae yang memang sedang boom di Indonesia, Barakatak tampil menonjol dengan menggabungkan house dan irama pop Sunda yang kental akan kendang, kolintang, dan synth dari keyboard Yamaha PSR. Dengan lirik sederhana yang membedah hal-hal bawah tanah dan sensasional tanpa kompromi, tak heran jika bentukan musik seperti ini adalah zigot dari apa yang kita kenal di kemudian hari sebagai funkot.

Evolusi Baraktak cukup dinamis. Diawali sebagai alumnus Doel Soembang, Barakatak mulai bermain di ranah house ketika Omron datang dan merekonstruksi musik mereka pada awal 90an. Aam, Yayat, dan Didi mengamini perubahan tersebut sebagai aspirasi agar tenar dalam kelas nasional. Berseluncur di tahun 90an dengan musik yang memompa, Barakatak menjadi ikon peleburan antara napza dan pesta di Indonesia. Mereka bermain di diskotik-diskotik Bandung dan pinggiran kota Jakarta. Kisah-kisah melegenda lahir dari pengalaman mereka; dari mulai Aam yang pencak silat di lantai dansa sehabis menenggak lusinan pil hingga Barakatak yang sempat dibayar dengan—lagi-lagi—lusinan pil. Keterikatan mereka pada barang-barang tripping ini bukanlah hal yang aneh, karena menurut mereka, substansi terbaik untuk mendengarkan musik house Barakatak pada saat itu adalah psikotropika. Meredupnya aktifitas mereka di lingkup gemerlap malam pun dibarengi dengan mulai menciutnya sirkulasi substansi ini, juga regulasi pemerintah yang mulai ketat. Paska 2000an, penampilan Barakatak di diskotik-diskotik pinggiran mulai memudar. Panggung-panggung diskotik berubah menjadi panggung tujuhbelasan dan kondangan. Semangat pesta dunia malam bertransformasi menjadi selebrasi hajatan orang. Barakatak pun kembali ke ranah musik Sunda, menghilang dari peredaran musik ajeb-ajeb. Namun, satu hal yang tidak pernah mereka kira, bahwa legasi mereka terekam secara solid dalam lempengan VCD bajakan dan kabel Internet.

Saya sempat lupa bahwa saya besar dengan mendengar musik mereka di lapakan VCD bajakan pasar Kiara Condong dan acara Pasosore Edas di TVRI Jawa Barat awal 2000an. Beruntungnya, Internet menyegarkan kembali memori saya akan mereka ketika video-video mereka mulai menjadi bahan obrolan dan viral di awal meledaknya sosial media. Proses mengingat kembali karya mereka ini yang akhirnya membawa kami (Adythia Utama, Ignatius Aditya, Marshal Pardede, dan saya) pada awal 2015 untuk berencana membuat film dokumenter yang sedikit banyak menyentuh tentang legasi dari Barakatak. Mencari kontak Barakatak bukanlah perkara mudah. Mereka secara praktis adalah mahluk gaib di sirkulasi kebudayaan masa kini. Kontak Barakatak baru bisa saya dapatkan setelah menelusuri puluhan kontak EO pernikahan spesial adat Sunda—itupun baru bisa saya dapat dari sebuah EO yang terletak di Sukabumi.

Pertemuan kami dengan personil komplit Barakatak pada saat itu terjadi dengan canggung. Bagaimana tidak, mereka tidak pernah mengira bahwa sekonyong-konyong ada empat orang muda yang mengontak mereka, mengajak meeting, dan bercerita banyak akan musik mereka. Di hari itu, tahun 2015, mereka tidak bisa mempercayai kami sepenuhnya. Kalimat seperti “kok bisa mayat hidup seperti kami ini ada yang dengar dari kalangan generasi muda?” selalu keluar dari mulut Aam dan Yayat. Tentu, secara kongkalingkong mereka mencurigai motif kami. Paska Akurama, Barakatak penuh berkarya di kancah musik Sunda lewat label kawakan DH Production. Memastikan mereka untuk dapat kembali ke tahun 90an tentu amat beresiko untuk berakhir ke sekedar lucu-lucuan dan romantisme meme untuk generasi sekarang. Hal itu yang memang kami coba hindari sedari awal; karena yang perlu generasi sekarang tahu, bukan lah potensi meme dari Barakatak atau kisah-kisah budaya rave narkotika, tapi bagaimana mereka adalah salah satu pelopor dan pembentuk musik dansa elektronik di Indonesia. Lewat kontribusi karya-karya mereka yang mutakhir di jamannya, nama mereka seharusnya tercatat dengan tebal di buku-buku sejarah dan teori musik elektronik dunia. Hal ini yang seharusnya banyak orang tahu, diluar hal sekunder seperti meme dan narkoba.

Tiga tahun kemudian, akhirnya Barakatak bisa kembali dengan semangat lamanya. Formasi house 90an ditambah dengan kehadiran Hana sebagai biduan. Mereka berkumpul dan bermain kembali di Indonesia Netaudio Festival 3.0 pada tanggal 19 Agustus 2018 di Yogyakarta. Dan setelahnya disibukkan dengan beragam pentas di panggung-panggung terkini, kali ini Barakatak kembali merekam dan mengaransemen ulang hits-hits house mereka. Lima lagu dari 3 album berbeda dari rentang waktu 1996-2002 (House Music Vol. 1, House Music Vol. 2, dan Bandung Bergoyang) dibawakan kembali. Dalam rilisan ini, Barakatak kembali dengan membungkus musik mereka lewat style dan sound yang lebih ‘kini’ dengan menyematkan beberapa unsur-unsur mikro dari Electronic Dance Music (EDM). Aksi memasukan unsur-unsur ‘kini’ bukan didasarkan pada keinginan untuk mengikuti perkembangan pasar musik elektronik. Hal ini didasarkan karena mereka adalah Barakatak; unit musik yang selalu bermain dengan bahasa musik yang vernakular kita dengar di mana-mana. Jika 90an adalah house maka hari ini EDM. Jika house bisa didengar di mana-mana pada tahun 90an lewat dentuman speaker angkot, hari ini EDM adalah bahasa pasti untuk backsound vlogger-vlogger di YouTube. Hal lumrah yang dapat kita temui di segala ruang, dan Barakatak mencoba untuk meresponnya.

Meskipun sekarang mereka mungkin tidak pernah lagi merasakan dibanjiri kertas merah cap Soekarno-Hatta, tapi mereka kembali dengan semangat yang sama. Semua akan pesta-parti pada waktunya. Untuk semua orang yang telah dan akan dibaptis oleh kultur pesta para kolot nurustunjung yang menolak untuk mati; kami persembahkan, Barakatak yang Bergoyang Again! Jangan sampai kalian putri—pura-pura tripping!

(Riar Rizaldi)