Production Notes

Yennu Ariendra: Elektronik
J Moong Santosa Pribadi: Handmade instruments

Diproduksi oleh Image Of The Giant Project
Direkam di Rumah Mo’ong, Yogyakarta
Mixing & Mastering oleh Yennu Ariendra

Gambar diambil dari buku Serat Damar Wulan
Desain dan olah gambar oleh Wok The Rock

Dirilis oleh Yes No Wave Music

Liner Notes

Album Raja Kirik ini adalah bagian dari proyek seni yang lebih luas yakni Image of the Giant (War on Narrative). Masih melanjutkan tema besar Menara Ingatan yakni sejarah kekerasan, Yennu Ariendra berkolaborasi dengan J Moong Santosa Pribadi, mengolah kesenian Jaranan Buto dan kisah Menak Jinggo sebagai sumber penciptaan. Selain itu mereka juga mempelajari Gedruk Merapi (Klaten) dan Jatilan dari Bantul, Jogja dan Purwokerto.

Album ini terdiri dari 6 komposisi yang meskipun berangkat dari tema dan tradisi yang sama dengan Menara Ingatan, warna musik dalam Raja Kirik cukup berbeda. Kehadiran Moong dengan alat-alat musik buatan sendiri, juga tradisi musik yang berbeda dengan Yennu, membuat Raja Kirik melangkah lebih maju dari Menara Ingatan, atau setidaknya versi yang sangat berbeda. Terlebih lagi album ini tak menggunakan lirik sehingga lebih bebas dinikmati sebagai musik maupun bunyi. Tanpa harus menggarisbawahi sejarah kekerasan di Banyuwangi melalui syair, saya dibawa dalam suasana dan warna kekerasan yang tajam—tanpa harus mengerti sejarah dan tradisi Banyuwangi.

Dibuka dengan O Sing, judul yang dimainkan dari kata Osing, kita akan dibawa masuk perlahan ke dunia jaranan, dunia keprajuritan dan perang. Bunyi-bunyi besi mendominasi seperti mengantar para prajurit memasuki arena dengan gagah. Jika di dalam struktur pertunjukan jaranan ada sabet, di mana para penari masuk dan menari rampak yang berfungsi sebagai pengenalan karakter dasar, O Sing sepertinya dimaksudkan demikian pula. Keberingasan para buto itu baru muncul di komposisi selanjutnya, yakni Alas Tyang Pinggir. Saya segera membayangkan Alas Purwo, di mana para prajurit Blambangan bertahan dari serangan Mas Rangsang (kemudian dikenal dengan nama Sultan Agung saat naik tahta). Komposisi-komposisi berikutnya semakin membawa kita jauh memasuki jagad Buto dan Menak Jinggo: kekecewaan, kemarahan dan juga kesepiannya. Tapi jangan berharap tabuhan jaranan yang monoton dan ritmis ada di setiap komposisi. Di bagian yang semestinya menjadi puncak, Yennu dan Moong justru masuk jauh ke dalam sumber perkara Menak Jinggo.

Baiklah, saya tak ingin menutup tulisan singkat ini dengan simpulan yang justru membuat tafsir atas Raja Kirik tercekik. Bagi saya Raja Kirik bisa menjadi siapa saja hari ini: mereka yang tersingkirkan, terpinggirkan dan selalu diingkari. — Gunawan Maryanto