Production Notes
Raja Kirik:
Yennu Ariendra: electronics
J Moong Santosa Pribadi: handmade instruments
Produced by Raja Kirik
Recorded in Vilnius, Lithuania and Yogyakarta, Indonesia
Mixing & Mastering by Yennu Ariendra in Yogyakarta, Indonesia
Artwork: Enka Komariah
Liner Notes
Jaranan, muncul di tahun 1041 (era kerajaan Kahuripan). Menurut salah satu cerita dari mulut ke mulut, seorang raja menggelar sayembara dengan hadiah putrinya. Banyak pelamar dari ksatria dan bangsawan yang mendaftarkan diri, namun ada satu orang biasa diantaranya, Pujangga Anom atau Bujang Ganong. Semua pelamar beradu kesaktian, Bujang Ganong memenangkan semua pertarungan. Ksatria yang ia kalahkan tidak ia bunuh jika bersedia menjadi bagian dari iring-iringan Bujang Ganong menuju istana. Iring-iringan penuh kemenangan inilah yang kemudian diadopsi menjadi kesenian tari kuda, Jaranan. Tentu hal ini tidak mungkin terjadi, rakyat biasa tidak mungkin meminang putri raja, sekalipun dalam sayembara yang adil. Jaranan menggulirkan pertanyaan ulang atas perbedaan kelas, hubungan antara rakyat kecil dan penguasa.
Di dalam tari, kemenangan Bujang Ganong adalah kelincahannya dalam mengelak, berlari serta menyerang balik saat musuh lengah. Bujang Ganong adalah simbol rakyat kecil, menggunakan cara-cara strategis dalam menghadapi penguasa atau lawan yang lebih besar.
Selama lebih dari satu milenial, Jaranan atau juga dikenal dengan nama Jathilan masih diberlangsungkan secara aktif dan kontekstual dengan kehidupan sekarang. Meskipun memiliki banyak varian dan turunan, secara umum Jaranan bercerita tentang ksatria berkuda atau sekelompok ksatria yang berjuang demi menegakan keadilan; bertarung melawan iblis, rampok hingga penguasa yang zalim. Jaranan meliputi berbagai atraksi seperti kebal senjata, kebal rasa sakit, gerakan akrobatik, dan yang paling penting adalah kesurupan. Kesurupan oleh roh atau jiwa mahluk mitologi adalah cara untuk menunjukan kekuatan lokal, bahwa daerah mereka dijaga oleh kekuatan spiritual yang kuat.
Album Raja Kirik “Rampokan” adalah perjalanan transendental yang digerakan oleh sejarah perlawanan kultural. Secara bentuk, album ini meminjam bagian ndadi dari pertunjukan Jaranan, atau fase dimana pemain Jaranan kesurupan. Kesurupan sendiri adalah buah dari rancangan kuno demi menciptakan situasi transendental. Dibangun dari prosesi ritual, tari dan musik, hingga menemukan frekuensi tertentu yang dapat menghubungkan pemain atau bahkan penonton dengan pikiran/kondisi bawah sadarnya, meliputi sejarah ketubuhan hingga memori/trauma kolektif.
Istilah “Rampokan” diambil dari Rampokan Macan, sebuah tontonan umum yang menyuguhkan pertarungan antara Harimau Jawa dengan kerbau, penjahat dan prajurit bertombak. Berlangsung dari abad 17 hingga awal abad 20, kebrutalan ini diniatkan untuk menunjukan kekuatan kerajaan kerajaan Jawa secara politis, yang saat itu di bawah bayang-bayang atau pengaruh pemerintah Hindia Belanda. (Yennu Ariendra)
Album ini diselesaikan di masa pandemi virus Corona (Maret-Juni 2020) secara remote oleh J. Mo’ong Pribadi di Vilnius, Lithuania dan Yennu Ariendra di Yogyakarta, Indonesia.
— English —
Jaranan, appeared in 1041 during the short-lived era of the Hindu-Buddhist kingdom Kahuripan. According to one of the oral histories, there was a king who held a fight contest, the prize was to become the husband of his daughter. The knights and nobles enlist themselves, but there is an ordinary person among them, Pujangga Anom or Bujang Ganong. Bujang Ganong won the battles. He has not killed the knight he defeated, instead forced them to join his parade towards the palace. This triumphal parade was later adopted into the art of horse dance, Jaranan. Of course, this could not have happened, ordinary people could not have asked the king’s daughter, even in a fair competition. Jaranan rolled over the question of class differences, the relationship between the common people and the ruler.
In the dance, Bujang Ganong’s victory was his agility in evading, running and attacking from behind when the enemy was off guard. Bujang Ganong is a symbol of common people, using strategic ways to overcome the rulers or greater opponents.
For more than a millennium, Jaranan (also commonly called Jathilan) is still actively practicing until today. Although it has many variants and derivatives, in general, Jaranan tells the story of a horse troop or a group of knights that fight for the sake of justice; against the demon, bandit, to the corrupted regime. Besides dance, Jaranan encompasses various acts such as immune to weapons, immune to pain, acrobatic movements, and the most important is trance or possessed by the spirit of mythical creatures. While most of Javanese believe in supernatural things, this is the way to declare the local power, that their area is guarded by strong spiritual power.
Raja Kirik’s Album “Rampokan” is a transcendental journey that was driven by the history of cultural resistance in Java. Musically, this album is inspired by the trance chapter in the Jaranan performance, or the stage where the Jaranan players are getting possessed. This stage is an ancient design that was built through ritual procession, dance and music. It triggered a certain frequency that can connect a dancer or even an audience to their subconscious mind/condition, including their own body history to collective memory/trauma.
The term “rampokan” is taken from “Rampokan Macan”, a public spectacle or gladiator arena that presents a fight between Javanese tiger and buffalo, criminal, and a group of spear army. Lasting from the 17th to early 20th centuries, this brutality was intended to demonstrate the political power of the Javanese Royal Kingdoms, which in that time were overshadowed by the Dutch East Indies government.
The album proceeds remotely where J. Moong Santoso Pribadi in Vilnius, Lithuania and Yennu Ariendra in Yogyakarta, Indonesia during the coronavirus pandemic (March-June 2020).