- 01 Sayyidah Sound Sistim Y-DRA
- 02 Kombatan Aspal Gronjal Y-DRA
- 03 Order/Disorder Y-DRA
- 04 Goyang Tobong Y-DRA
- 05 Koplotronika Y-DRA
- 06 No-Brain Dance Y-DRA
- 07 Ada Tiada Y-DRA
- 08 Trance Korslet Y-DRA
- 09 Milisi Miskin Kota Y-DRA
- 10 Patrol Pesisir Y-DRA
- 11 Duel Jempol Y-DRA
- 12 Pencak Siang Bolong Y-DRA
- 13 Sampur Kulon Girang Y-DRA
Production Notes
Liner Notes
Belakangan, obrolan saya dan Yennu Ariendra selalu bermuara pada persoalan sama. Sebagai musisi, apakah karyanya berjarak dengan masyarakat? Apakah ia mulai menjadi sosok yang tak ia sukai? Seorang seniman yang karyanya hanya dirayakan oleh teman-teman sendiri, tapi berlagak seolah ia baru melepas pernyataan agung yang merangkum persoalan seisi dunia?
Mungkin kerisauannya ini sudah jadi perkara lama. Sejak ia menyelipkan unsur koplo pada nomor “Distopia” karya Melancholic Bitch serta gaya Pantura di Belkastreka, Yennu selalu mencoba menyematkan aroma jalanan pada karya-karya yang seolah lebih pantas disajikan di auditorium wangi. Upayanya semakin berani ketika ia mulai mendalami identitasnya sebagai orang Banyuwangi melalui proyek Menara Ingatan dan album kolaboratif Raja Kirik.
Tak sekadar mengambil gaya dangdutan, ia mulai mendekonstruksi narasi, legenda, dan unsur-unsur musik lokal yang kemudian membentuk tradisi tersebut. Ambil contoh tradisi jaranan buto dan jathilan yang menginspirasi alur cerita dan frase-frase musikal Raja Kirik. Dengan berkaca pada masa lalu, ia seperti mencoba membayangkan peta ke masa depan yang berbeda.
Pada No-Brain Dance, ia mengambil langkah maju tersebut. Ketimbang berpijak pada legenda, ia melakukan riset ke beberapa kota dan menelusuri bagaimana musik tradisional beradaptasi dan beralih rupa. Dengan bantuan organ tunggal dan piranti musik elektronik seadanya, jaipong berubah menjadi pongdut, tarling menjadi tarling dangdut, dan angkot-angkot dipenuhi bebunyian riuh angkot house.
Betapa luwesnya tradisi turun temurun beradaptasi dengan teknologi dan instrumen baru. Betapa enaknya tema lirik dan narasi bergeser untuk mencerminkan persoalan-persoalan urbanisasi, kemiskinan, serta cinta dan segala praharanya. Bagi Yennu yang terpukau pada persoalan identitas, modernisasi, dan evolusi budaya, subgenre-subgenre ganjil ini pasti terasa seperti harta karun.
Bisa jadi album ini adalah bentuk perayaan Yennu terhadap subgenre-subgenre tersebut. Simak bagaimana ia memasukkan sample tarikan gas motor di “Kombatan Aspal Gronjal” dan tabuhan kendang yang nikmat di “Order Disorder”, dua surat cintanya pada Pantura. Pada “Sayyidah Sound Sistim”, “Duel Jempol”, hingga “Koplotronika”, visi Yennu nampak kentara. Perpaduan cerdik antara beat kompleks IDM dengan ritme musik koplo yang lebih rancak dan sulit diprediksi. No-brain dance yang sesungguhnya: musik yang menubuh, menolak dikekang, dan ahli mengajak pinggul bergoyang.
Namun, sampai kapan pun jarak itu akan tetap hadir. Musiknya akan selalu kelewat ribet untuk dimainkan di pesta rakyat, dan kurang catchy untuk menggantikan lagu nasyid yang dipasang tetangga sebelah rumahnya saban sore. Yennu sadar betul akan hal ini dan mungkin perkara inilah yang diam-diam bikin ia greget setengah mati.
Atau, justru ia ingin bermain-main dengan dualitas tersebut. Jika dangdutan alun-alun sudah bisa kita hajar dengan sensibilitas Berghain, mungkin batasan imajiner itu layak diganggu. Toh, dua-duanya bikin kita joged tanpa banyak berpikir.