Production Notes

Direkam secara mandiri di Ndalem Kaendran

Direkam, dimixing, dan dimastering oleh Rabu

Semua lirik oleh Wednes Mandra

Desain sampul oleh Wednes Mandra

Dirilis oleh Yes No Wave Music

Liner Notes

Pada awal saya mengorganisir Yes No Klub (acara musik eksperimental yang direncanakan untuk digelar tiap bulan di Yogya), saya meminta rekomendasi talenta muda lokal yang gemar bereksperimen di wilayah musik dan seni suara kepada Krisna Widiathama (Sodadosa, Black Ribbon). Tanpa berpikir lama, Krisna mengajukan sebuah nama band: Asangata. Band ini digagas oleh seorang pemuda tanggung dari pinggiran kota Yogyakarta yang bernama Wednes Mandra. Setelah menyimak penjelasan singkat dari Krisna, tanpa berpikir panjang juga saya mencari-cari tema yang pas untuk mengundang Asangata, yaitu di acara bertajuk Next Trash. Saat pertama berjumpa, tebakan saya cukup tepat. Asangata bermain noise yang dipadukan dengan drone-metal ala Sunn O))) dan digawangi oleh dua pemuda yang jauh dari tipikal remaja urakan dan terlihat bosan dengan semua hal yang berkesan ’sex, drugs & rock n’ roll’. Semenjak itu, kami berteman meski tidak akrab.

Beberapa kali saya ingin sekali merilis album rekaman dari proyek-proyek Wednes yang saya suka. Namun apa daya, seluruh album dirilis oleh netlabel miliknya, Pati Rasa Records. Saya masih mencoba mengincar proyek-proyek selanjutnya. Karena saya selalu curiga apa yang dia kerjakan, sebaik apapun, suatu saat akan ditinggalkan begitu saja. Untuk itu, saat Rabu ia munculkan, saya langsung meminangnya. Band ini jauh berbeda dengan proyek-proyek sebelumnya. Terasa lebih jujur, meski jika dirunut sebenarnya ada tautan dengan karya yang pernah dibuatnya. Fidelitas rendah, gelap, bergema. Tapi kali ini tak banyak bermain kotor. Pilihannya pada musik folk bernuansa balada yang memikat saya. Juga pada cara band ini menyematkan citraan mistik Jawa dalam lirik lagu puitis bergaya noiryang sederhana.

Nuansa flamboyan yang terselip juga kembali membawa saya merasa syahdu dan tenteram saat mendengarkan lagu-lagu balada. Saat “Melati Dari Jayagiri” milik Bimbo, “Camelia I” nya Ebiet G. Ade, “Perjalanan” nya Franky & Jane, atau “Esek-Esek Uduk-Uduk” dari Swami selalu saya dengarkan untuk membunuh perasaan yang sedang rumit. Tapi entah mengapa saya tidak pernah bisa menikmati gaya galau yang diusung oleh musik-musik berjenis post-rock. Mungkin karena folk balada terasa lebih jujur seperti blues.

Album penuh perdana dari Rabu pun datang di musim yang tepat. Musim hujan di bulan Desember. Suasana yang basah dan temaram sungguh tepat untuk menikmati album ini. Namun, saat musim kemarau datang, udara yang terik dan kering di siang hari bisa anda rayakan dengan segelas air soda dingin dan kesyahduan Renjana. Sekali lagi, simpan dan nikmati rekaman ini baik-baik, karena mungkin eksistensi band ini seperti keindahan lukisan yang terbuat dari pasir. Selamat berdoa.

(Wok The Rock)