• RELEASE DATE /13 November 2012
  • CATALOG /YESNO066
  • DOWNLOAD /MP3

Production Notes

All Songs Remixed by TerbujurKaku

Attribution:

1. Intro: “Kapa o Pango”,  a Maori’s folk song

2. Pacar Lima Langkah, written by Leni Nurhayani, performed by Iceu Wong

3. BeTe, written by Tjahjadi/Abunawas, performed by Manis Manja Group

4. Mojok Di Malam Jumat, written by Tjahjadi/Viant Nugen, performed by Melinda

5. Hamil Duluan, written by Tjahjadi Djajanata/Ishak, performed by Tuty Wibowo

6. Pengemis Cinta, written and performed by Jhonny Iskandar

7. Rekayasa Cinta, written by Munif Bahasuan, performed by Camelia Malik

8. Pasrah, written by Leo Waldi, performed by Shodiq

9. Mimpi Manis, written by Fazal Dath, performed by Rieka

10. Bunga, performed by Ana Lorizta

11. Memandangmu, written by Renaldi Wahab, performed by Ikke Nurjanah & Aldi Bragi

Mixed by TerbujurKaku

Photo and cover design by TerbujurKaku

Released by Yes No Wave Music

This album is licensed under Creative Commons Attribution-NonCommercial

Liner Notes

Saya menemukan TerbujurKaku setahun lalu dalam gelaran musik derau berjuluk Jakarta Noise Fest 3. Dengan hanya berbekal laptop dan sebuah stick playstation, TerbujurKaku sukses menyuguhkan – kalau tidak salah – seluruh Megamix Album (Koplo Goes Breakcore)  sekaligus membawa Dangdut ke ruang yang belum dicapai sebelumnya, gig noise. Rasanya ganjil menonton Dangdut di gig noise. Namun, yang tak kalah ganjilnya adalah tidak bergoyang sebab [katanya] bergoyang – secara subtil atau blak-blakan – itu reaksi primordial orang Indonesia jika disentil Dangdut, bagaimanapun bentuknya.

Mungkin, saya ikut bergoyang hingga tak sadar betapa uniknya Dangdut a la TerbujurKaku.  Saking asiknya, saya lupa mengabarkan tentang TerbujurKaku pada ayah saya.

Padahal, setelah dipikir-dipikir, TerbujurKaku adalah salah satu solusi yang ampuh guna mendamaikan selera musik ayah dan saya. Saya – lahir dan dibesarkan di Cirebon – memang terpapar pada Tarling Dangdut, Pop Sunda serta, tak ketinggalan, Dangdut Pantura. Namun, seiring perkenalan saya dengan genre musik yang nge-hip layaknya grunge atau hipmetal, saya menarik diri dari ketiga sub-genre itu. Walhasil, saya menyumpal kuping rapat-rapat ketika ayah saya menikmati suguhan Dangdut Pantura di TV atau VCD Player. Sebaliknya, ayah saya protes keras ketika saya pertama kali membawa album self titled Foo Fighter dan menikmatinya dengan volume keras di kamar. Parahnya, renggang selera ini makin lebar sepindah saya ke Bandung dan, lantas, Jakarta. Ayah masih kerap menyicip Dangdut Pantura dengan dosis teratur di TV Lokal Cirebon; saya terus asik mencari album baru berembel-embel genre yang makin aneh saja, mulai dari Skramz, Nu Gaze, Nu Prog. atau bahkan Post-Black Metal, maklum namanya juga hipster.

Puji Tuhan, peruntungan saya masih bagus. Lewat seorang kawan sesama zinemaker, Phleg – pria di balik moniker Terbujurkaku – mengontak dan meminta saya membuat liner note untuk album barunya, Megamix Album Vol. 2. Dus, saya gembira bukan kepalang. Ternyata, jalan menuju rekonsiliasi dengan ayah saya masih terbuka.

Awalnya, saya sempat ragu karena keterbatasan pengetahuan saya akan musik elektronik. Namun, setelah pulang dan mulai menulis liner note dari Cirebon – salah satu habitat asli Dangdut Pantura, saya memutuskan untuk mendekati TerbujurKaku dari sisi lain, Dangdut. Sebab, selain saya pernah terpapar Dangdut [Pantura] dengan dosis tinggi, nyatanya Megamix Album Vol. 2 bisa dibaca sebagai album yang serius dari sisi Dangdut. Perlu kejelian, kepekaan, dan keusilan  – garis bawah pada keusilan – untuk bisa mendedahkan album yang merayakan Dangdut Peripheral sembari diam-diam menyisipkan kritik pedas pada cara kita mengakbrabi [sebagian ranah dalam] Dangdut.

Dengan kepekaan dan kejeliannya, ada baiknya kita menengok karya Phleg setelah kita mengelu-elukan Andrew N. Weintraub yang membawa dangdut ke ranah akademis. Bagi saya, Phleg adalah archivist Dangdut yang jeli dan peka. Seperti Wintraub yang merekam transformasi Dangdut dari musik tai anj**g hingga didapuk jadi identitas nasional, Phleg juga mengarsip Dangdut, dengan caranya sendiri. Hasilnya, Album Megamix Vol. II – seperti pendahulunya – lagi-lagi dipenuhi dengan hit-hit Dangdut, baik dari  [paska] era RBT seperti Hamil Duluan, Pacar Lima Langkah, atau single klasik seperti Pengemis Cinta atau Rekayasa Cinta. Belum lagi, rangkaian hit juga masih dihiasi dengan klise-klise pertunjukkan Dangdut seperti teriakan “Masih mau lanjut?’. Tak bisa dipungkiri, [akhirnya] mendengarkan Megamix karya TerbujurKaku setimpal dengan menelusuri rangkuman sejarah Dangdut lintas masa, dari panggung-panggung Dangdut pinggiran.

Pun, dengan kejelian dan keusilannya, Phleg bisa dengan genial menyisipkan kritik pada Dangdut dalam pilihan hit lintas masa tersebut. Yang paling kentara bisa ditemui di intepretasi TerbujurKaku atas Hamil Duluan, single Dangdut kontemporer yang ngetop lewat suara Tuty Wibowo. Tanpa tedeng aling-aling, Phleg membariskan refrain lagu itu dengan potongan lagu My Lecon. Keduanya memang terdengar mirip plek-plekan. Saya cuma menyunggingkan senyum nyinyir, persis seperti reaksi kita pada semua penjiplakan dalam khasanah musik populer lokal – atau dalam kasus ini Dangdut – yang kadong dianggap lazim dan, sekadar, ditingkahi pembiaran.

Lebih dari itu, sadar atau tidak sadar, Megamix Album Vol. 1I punya kritik yang lebih keras namun subtil pada cara kita memandang serta memperlakukan Dangdut. Saya memang mendekati album ini lewat Dangdut. Sejatinya, justru unsur non-Dangdut punya peran penting dalam sindiran Phleg berikutnya. Breakcore, Drum n Bass, Glitch atau apapun itu [semoga saya benar] yang dibalurkan pada Dangdut pinggiran ini membuatnya terasa liyan; Akibatnya, yang dulu cuma pinggiran dan dikategorikan sebagai guilty pleasure kini [tiba-tiba] dirayakan.

Dengan elemen non-Dangdut ini, Paska Megamix Album Vol. II, toleransi terhadap suguhan Dangdut koplo saat naik angkot di Cirebon meningkat. Dulu saya terganggu kini saya bisa sedikit bergoyang. Dulu, saya mencibirnya kampungan; Sekarang, saya menyebutnya seni yang Kitsch, padahal artinya sama saja [ha!]. Dalam skala yang lebih luas,  dengan elemen yang sama, Dangdut, seperti yang saya ceritakan di atas, bisa manggung di gig noise. Bahkan, saya yakin tanpa elemen itu, Dangdut – terutama yang dipugar TerbujurKaku – cuma berakhir di warung kopi, bus malam kelas ekonomi, radio pinggiran serta pesta hajatan. Singkatnya, tanpa elemen itu, Dangdut mustahil jadi liyan, menyusup dalam youth culture, lalu nyantol di netlabel ini dan, tentunya, saya tak akan menulis liner note ini.

Guilty pleasure selalu bisa diakali serta Dangdut jadi eksotis sekaligus hip jika dilihat dari kacamata [musik] Barat. Miris, kita justru butuh musik bule untuk menemukan [kembali] Dangdut persis seperti kita butuh Stonethrow Records untuk mengungkap gilanya musik rock di dekade 70an. Begitu, saya rasa, kritik TerbujurKaku pada kita.

Namun, tenang saja. kritik yang terakhir – itu pun jika benar-benar ada – disampaikan dengan sangat halus dan amat tersembunyi. Jika anda fulltime downloader, music snob, atau hipster seperti saya, telan saja kritik itu sambil lalu. Toh, setelah itu, kita menemukan sebuah gem, sebuah album yang membuat kita mengarus utama [baca: Berdangdut] sembari tetap ngehip. Dan, Megamix Album Vol. II, bagi saya, adalah harapan terakhir rekonsiliasi [selera musik] saya dan ayah.

Akhir Desember saya akan pulang ke Cirebon. Semoga rekonsiliasi tercapai di antara bunyi terompet Tahun Baru, bau mercon, serta deraan Dangdut a la TerbujurKaku, sebagai pengganti siaran langsung Konser Rhoma Irama di Ancol. Amin.

(Manan Rasudi)