Production Notes

Eksekutif Produser: Agung Kurniawan

Produser: Wok The Rock

Asisten Produser: Adi Adriandi

Manajer Produksi: Venti Wijayanti

Manajer Dialita: Irawati Atmosukarto

 

Seluruh lagu direkam oleh Oki Gembus di Studio KuaEtnika kecuali musik di lagu “Salam Harapan”, “Lagu Untuk Anakku” dan “Dunia Milik Kita” direkam oleh Firzi O di Masak Suara Studio

Mixing dan mastering oleh Antonius Gendel di Studio Sangkar Emas

Desain sampul album oleh Wok The Rock

Ilustrasi oleh Wedhar Riyadi

 

Diproduksi oleh Yes No Wave Music dan Indonesian Visual Art Archive

Dirilis unduh bebas oleh Yes No Wave Music

Liner Notes

Yang Bangkit dan Bersuara Merdu

Bertahun kemudian ketika saya telah berpisah dengan perempuan itu, setiap halte transjakarta adalah pengingat. Barangkali ini sentimentil, jika kemudian kelak kamu membaca ini kembali, kamu akan mengenang bagaimana tiap detik yang kamu anggap sepele bisa demikian jelas dikonstruksi. Lantas kamu akan menyadari betapa lucu cara ingatan bekerja. Saat kamu merasa sudah melupakan kenangan-kenangan itu datang lagi seperti gerombolan bandit yang merampok kesadaranmu, bahwa ada yang belum selesai, tak pernah selesai, kecuali kamu menghadapinya sendiri.

Ingatan adalah barang debil dan kerdil di negeri ini. Setiap usaha mengingat adalah usaha melawan sebuah rezim. Karena dalam ingatan tersimpan peristiwa muram dan ingatan akan melahirkan kesadaran. Sejarah ditekuk, realita ditimpa, ingatan kolektif bangsa ini ditentukan buku teks. Di luar peristiwa itu adalah bohong dan siapapun yang mengatakan sebaliknya adalah pendusta. Dosa borongan ditempelkan kepada siapapun yang berusaha melakukan rekonsiliasi.

Album yang ada di tangan anda ini adalah upaya untuk mendengar kembali suara yang dibungkam. Suara yang dipaksa sunyi karena dosa kolektif dari sebuah asosiasi, mereka yang dianggap terlibat pada peristiwa 65, pengkhianat, komunis, dan segala yang menyertainya. Kemudian ketika rezim yang menindas itu tumbang, suara-suara yang dulu dipaksa hilang, dipaksa sunyi, dipaksa bungkam, kembali hadir dengan cara yang segar tentu saja.

Paduan Suara Dialita, singkatan dari Di Atas Lima Puluh tahun, adalah bunyi merdu dari masa lalu. Bunyi yang dipaksa sunyi oleh rezim penguasa seusai Enam Lima. Paduan suara ini beranggotakan keluarga atau mereka yang pernah ditahan karena tersangkut peristiwa Enam Lima. Mereka yang pernah ditahan, dipenjara, dibuang, diasingkan, dan dibuat melakukan kerja paksa tanpa pernah tahu kesalahannya.

Ada total 10 lagu dalam album ini. Tentu bukan sekedar bernyanyi, Paduan Suara Dialita tidak datang sendiri. Ada beberapa musisi muda lintas generasi yang hadir untuk mengiringi mereka. Saya memohon, dengan segala kerendahan hati, untuk menempatkan nama-nama seperti Frau, Sisir Tanah, Cholil Mahmud, Nadya Hatta & Prihatmoko Catur, Komunitas Kroncongan Agawe Santosa dan Lintang Radittya sebagai sekadar figuran, catatan kaki, sesuatu yang tidak signifikan, untuk bisa menikmati album ini dengan maksimal.

Album ini juga berperan sebagai sebuah arsip sejarah. Karena dalam album ini, Paduan Suara Dialita menghadirkan kembali suara dari dua seniman musik besar Indonesia yang disingkirkan dalam catatan sejarah, Sudharnoto dan Subronto K Atmodjo. Maestro musik, yang meski harus meringkuk dalam kamp kerja paksa di Pulau buru, mereka masih mencipta lagu-lagu merdu untuk mengobarkan semangat hidup.

Bernyanyi, berkumpul, bercerita dan berbagi pengalaman untuk bertahan hidup adalah upaya keluarga penyintas untuk merawat harapan. Bernyanyi memberikan mereka suara untuk bicara, untuk didengar. Bahwa mereka masih ada, masih hidup dan menolak dibungkam. Perempuan-perempuan tangguh ini adalah monumen hidup yang selamanya akan diingat oleh sejarah sebagai orang yang menang.

Paduan Suara Dialita tidak sedang mengasihani diri sendiri. Mereka tegak bersuara, dengan merdu tentu saja, menyanyikan lagu-lagu dari masa lalu. Sesuatu yang membuat mereka kuat menghadapi bengisnya penjara, kejamnya diskriminasi, dan jahatnya stigma. Suara-suara ini adalah titik tengah pertemuan antara semangat masa lalu dan estetika bunyi hari ini. Musik yang segar dengan teks dan susunan nada yang berasal dari masa yang lampau.

Adalah Ibu Utati dan Ibu Mudjiati, dua anggota Paduan Suara Dialita yang pernah ditahan bersama-sama di Bukit Duri. Mereka sangat berjasa mengumpulkan arsip dokumentasi dan menuliskan kembali lagu-lagu dari dalam penjara: dari lirik-lirik yang tidak lagi utuh diingat, lalu secara perlahan berhasil menemukan kembali bagian-bagian yang terpenggal, selanjutnya diberi notasi dan dibuatkan partiturnya secara sederhana. Partitur-partitur sederhana yang masih belum sempurna itulah yang kemudian diperkenalkan dan dipelajari bersama kawan-kawan dalam Paduan Suara Dialita.

Album ini dimulai dengan lagu “Ujian” gubahan Siti Jus Djubariah yang diaransemen oleh Frau. Saya hendak menuliskan sesuatu yang indah sebagai deskripsi lagu ini, tetapi mustahil mendengar lagu ini tanpa menangis. Setidaknya jika anda membayangkan bahwa lagu ini ditulis sebagai usaha untuk tetap tegar di balik penjara. Lagu ini diciptakan di dalam penjara Bukit Duri, Jakarta, tempat ratusan perempuan tua dan muda dari berbagai kelompok pekerja dan pelajar dipenjara atas kesalahan yang entah hanya setan yang tahu.

Perempuan dan lelaki yang ada di tempat ini dipenjara tanpa proses pengadilan dan tanpa tahu kesalahan mereka. Hidup di penjara tanpa mengetahui harapan akan bebas bisa jadi vonis kematian. Banyak anak-anak muda putra-putri tahanan politik ini yang mesti melewatkan masa remajanya dalam bui. Ibu Jus Djubariah atau yang biasa dipanggil Ibu Jus berinisiatif untuk membuat jadwal bermain kasti seminggu sekali. Kadang-kadang dalam hujan deras pun tetap bermain. Ini seperti upaya menjadi tetap waras di zaman yang demikian dhaif dan jahil.

Ibu Siti Jus Djubariah adalah seorang guru yang pada 1965 ditangkap dan ditahan di Bukit Duri, Jakarta, sampai tahun 1971. Sekitar pertengahan 1971 ia dikirim ke Plantungan bersama puluhan tahanan lainnya dan sempat dipindahkan ke penjara di Bulu, Semarang, sebelum akhirnya ‘dibebaskan’ pada 1978. Ia sosok yang selalu penuh semangat. Di dalam penjara, ia terus berusaha menyemangati para remaja dan anak-anak muda supaya tidak berputus-asa. Lagu Ujian menjadi salah satu penyemangat bagi para tapol yang direnggut kebebasan dan hak-haknya oleh penguasa Orde Baru.

Suatu ketika, Ibu Jus mengajak putra-putri tahanan politik yang ada di Bukit Duri untuk duduk di bawah pohon kersen, dan ia mulai bernyanyi. Anak-anak itu disuruh menirukan baris demi baris, berulang-ulang, dari hari ke hari. Ada beberapa bagian lirik lagu ini yang hilang, lagu saduran ini tidak bisa dilacak kembali asal usulnya, namun baru pada tahun 2007 berhasil “dilahirkan kembali” oleh Paduan Suara Dialita.

“Dari balik jeruji besi/hatiku diuji/apa aku emas sejati/atau imitasi” Teks itu menangkap semangat keras dari patriot yang dipecundangi oleh sebuah rezim. Mereka yang ditangkap dan dipenjara namun menolak untuk larut dari kekalahan. Para patriot yang ditempa hujan dan badai ini tetap memelihara harapan untuk kembali. Suara piano yang dimainkan Frau sebagai pengiring, berhasil menghadirkan atmosfer sendu dari sekelompok manusia-manusia yang demikian pejal menahan derita.

“Salam Harapan” diciptakan oleh Ibu Zubaedah Nungtjik. AR di penjara Bukit Duri, Jakarta, untuk dipersembahkan kepada kawan-kawan sesama tahanan politik yang sedang berulang tahun. Dahulu, ada tradisi menarik dalam penjara itu. Setiap ada yang berulang tahun, pagi-pagi sekali para ibu sudah berdiri berjajar di depan sel yang bersangkutan untuk bersama-sama menyanyikan sebuah lagu sebagai ucapan selamat.

Sesuai judulnya, “Salam Harapan” adalah doa yang baik, semacam niat untuk membesarkan hati. Hidup di penjara adalah pertempuran setiap hari melawan rasa bosan, tertekan, dan dibuang. Cholil Mahmud dan Popie Airil membuat lagu ini tetap sederhana, bersahaja, namun tidak menghilangkan lanskap teguh yang jadi karakter para penyintas Enam Lima. “Bagai gunung karang di tengah lautan, tetap tegak didera gelombang.”

Menariknya sebelum lagu “Salam Harapan” ini tercipta, terlebih dulu sudah ada satu lagu berjudul “Tetap Senyum Menjelang Fajar” yang diciptakan oleh Ibu Masye Siwi dan Ibu Zubaedah bagi para tapol yang berulang tahun. Setelah selesai menyanyi, salah satu dari mereka memberikan sekuntum bunga –bunga apa saja yang bisa dipetik dari halaman penjara sebagai hadiah. Musik menjadi hadir sebagai medium kebersamaan, bentuk lain kebahagiaan di tengah keterbatasan dan penindasan.

“Di Kaki-Kaki Tangkuban Perahu” dimulai dengan suara angin. Denting suara gitar Sisir Tanah mengiring lantas suara lirih hadir mewartakan semangat tani yang tidak akan mati. Aransemen bersama Leilani Hermiasih, Bagus Dwi Danto, Gipta Pradipta dan Lintang Radittya seolah menjantur para pendengarnya untuk luruh. Tenggelam dalam perasaan gembira yang lahir mirip dengan perasaan ketika kamu membenamkan kaki di lumpur, memandang sawah, dan mendengar angin bergesekan dengan padi.

Latar lagu ini adalah para petani yang di kaki Tangkuban Perahu pada tahun 1960an ketika Undang-Undang Bagi Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria ramai dibahas. Di siang hari mereka bekerja di bawah terik matahari, dan di antara waktu siangnya itu mereka melakukan aksi. Di malam hari mereka berdiskusi sambil menikmati alunan kecapi.

Situasi itulah yang diabadikan oleh Putu Oka Sukanta (lirik) dan M. Karatem (lagu dan musik) dalam lagu “Di Kaki-kaki Tangkuban Perahu.” Lagu tersebut digubah pada tahun 1964 dan sempat dijadikan lagu wajib untuk Lomba Seriosa oleh RRI Pusat tahun 1965 dan 1967. Eksplorasi puitik teks lagu ini patut dibaca serius. Misal pada bait “Malam dijemput suara kecapi, siang dibernasi suara aksi, di sini juang dipadu membina dunia baru nan jaya.”

Lagu berikutnya bisa menjadi arsip peristiwa sejarah, “Padi Untuk India”, adalah deskripsi penting tentang bagaimana kontribusi Indonesia di dunia kala itu. Tepatnya pada 1946 ketika India mengalami krisis pangan di bawah penjajahan Inggris. Meski masih menjadi bangsa yang muda, sebagai bentuk solidaritas negara yang dijajah, Indonesia menawarkan bantuan dengan mengirimkan 700 ton beras ke India. Meski sempat dihadang Belanda melalui pemboman dan pembakaran beras di Banyuwangi, Indonesia menepati janji pada India setelah beras kiriman negara ini lolos lewat pelabuhan Probolinggo.

“Padi untuk India” diaransemen ulang oleh Bagus Dwi Danto dan Antonius Ragipta Utama. Anda bisa mendengar ritme patriotik namun riang dan merasakan semangat solidaritas kemanusiaan melalui liriknya. Sisir Tanah mampu memaksimalkan efek riang lagu ini tanpa harus terdengar rumit. Seperti keriangan yang bisa kamu temukan di kerja bakti saat pembangunan jalan desa. Lagu ini disusun oleh A. Alie, yang hingga hari ini, tak ada catatan sejarah yang merekam sosoknya.

“Taman Bunga Plantungan” diaransemen dengan indah oleh Kroncongan Agawe Sentosa. Lagu ini diciptakan pada 1971 di kamp Plantungan, perbatasan antara Kabupaten Kendal dan Batang, Jawa tengah. Merupakan tanda cinta dan persahabatan antara Ibu Nurcahya, Ibu Mia Bustam, Ibu Rusiyati, dan kawan-kawan. Mengisahkan tentang sebuah taman kecil yang dibangun dengan swadaya oleh para tahanan politik di kamp Plantungan.

Kamp Plantungan sendiri semula adalah Rumah Sakit untuk para penderita Lepra yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Kondisi kamp Plantungan lebih mirip lapangan jagal yang dipenuhi benda-benda ajaib. Misalnya ketika juru taman membersihkan lahan, mereka menemukan potongan-potongan jari tangan atau jari kaki pasien kusta. Lagu ini ditulis oleh Zubaedah Nungtjik. AR tokoh Gerwani yang sempat tinggal di Plantungan pada 1971-1978.

Bunyi kolektif yang disuarakan oleh Paduan Suara Dialita merupakan representasi dari ratusan ribu tahanan politik Indonesia yang dipenjara tanpa pengadilan. Hak sipil mereka dicabut, identitas mereka diinjak, dan hak asasi mereka diludahi. Berpuluh tahun mereka dicap sebagai komunis seolah itu adalah dosa biblikal yang tak terampuni. Ada usaha mengkeramatkan segala yang terkait dengan komunis sebagai pesakitan tanpa ampun.

Seluruh Album ini bukan sekadar usaha melawan lupa, ini adalah usaha kolektif untuk menempatkan kembali sebuah konteks dari satu waktu di masa lalu. Dialita tidak sedang menuntut dengan kemarahan, mereka bernyanyi, memberikan suara dari satu spesifik peristiwa untuk generasi setelahnya. “Viva GANEFO” dan “Asia Afrika Bersatu”, bersama “Padi Untuk India”, adalah beberapa lagu yang punya konteks politik penting dalam album ini.

“Viva GANEFO” ditulis untuk merespon penyelenggaraan Games of New Emerging Forces yang diselenggarakan di Indonesia. Lagu ini dibuat oleh Asmono Martodipoero dalam bahasa Spanyol berjudul “Viva GANEFO”. Lagu ini bentuk sikap perlawanan terhadap imperialisme dan kolonialisme, kala itu lagu ini dimainkan sendiri oleh Asmono dengan diiringi petikan gitar oleh Gordon Tobing. Sementara lagu “Asia-Afrika Bersatu” diciptakan oleh Sudharnoto untuk menyambut penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika, atau yang lebih sering disebut KAA, atau Konferensi Bandung. Acara ini berlangsung dari tanggal 18 sampai 24 April 1955.

Ide tentang satu bangsa yang terdiri dari berbagai identitas berbeda termaktub dalam lagu “Dunia Milik Kita”. Lagu karangan Sudharnoto ini ditulis ketika reformasi terjadi. Ia menangkap semangat gerak politik kala itu dan selesai ditulis pada 10 Desember 1998, bertepatan dengan peringatan hari HAM sedunia. Sudharnoto adalah anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan pendiri Ensamble Tari dan Nyanyi Gembira, yang sangat terkenal di era 1960an.

Paduan Suara Dialita memberikan saya mood swing yang demikian ajaib. Berkali-kali saya dibikin menangis, dibikin gembira, dibikin haru, dibikin bersemangat, dibikin hancur, dibikin berharap, dibikin sedih, dibikin kuat. Jika ada yang bertanya siapa yang berhak mewakili subaltern seraya berdansa-dansi, maka orang itu perlu mendengar album ini. Jika ada yang bertanya bahwa musik politis dan idiologis karya seniman lekra tak bisa dibuat indah, maka ia perlu mendengar album ini.

“Lagu Untuk Anakku” disusun bersama oleh Ibu Heryani Busono Wiwoho, dan notasinya dibuat oleh Mayor Djuwito. Keduanya adalah tahanan politik Enam Lima yang ditahan oleh tentara di kamp Ambarawa, Jawa Tengah. Lagu ini adalah bentuk kegelisahan Mayor Djuwito atas nasib ratusan ribu anak Indonesia yang tiba-tiba harus kehilangan orang tuanya karena dibunuh, dibuang atau dipenjara karena kondisi politik saat itu.

Perempuan-perempuan dalam Paduan Suara Dialita adalah pohon menjulang yang tubuhnya memberikan rasa teduh, rasa tenang yang magis, seperti nenek yang tak pernah kamu miliki. Suara-suara mereka mungkin bergetar, tidak merdu tentu saja, tapi ada sesuatu yang membuat hatimu luruh, seperti perasaan sentimentil ketika melihat hujan untuk pertama kalinya setelah sekian lama kemarau. Saya bekerja sangat keras dalam beberapa hari ini untuk mendeskripsikan karya estetik mereka dan hasilnya adalah kesia-siaan.

Lagu favorit saya dalam album ini adalah “Kupandang Langit” yang diciptakan oleh Koesalah Soebagyo Toer di rumah tahanan Salemba, Jakarta, dan digubah oleh Leilani Hermiasih bersama Lintang Radittya. Terinspirasi dari pohon Kiara yang rindang di rumah tahanan itu, Koesalah berusaha menjaga kewarasan melalui berbagai kegiatan, penciptaan lagu ini adalah salah satunya. Koesalah menulis lagu ini untuk memperteguh diri dan menyemangati kawan-kawannya.

Saya berusaha mencari kata yang tepat, seperti pujian atau hiperbola untuk membuat anda merasa bahwa lagu ini istimewa, tapi saya sadar itu siap-siap. “Kupandang Langit”, bagi saya punya efek dramatis seperti meminum teh hangat di hari hujan. Ia membuatmu menyadari ada hal-hal yang tak bisa dilawan, yang tak bisa kamu selamatkan, tapi kamu punya kekuatan untuk memutuskan. Terus menerus mengkasihani diri sendiri atau kemudian mensyukuri apa yang ada.

Album ini merupakan keindahan yang maha tegar. Kamu akan mendengar orang-orang yang menolak dipaksa kalah, dipaksa menyerah, dan dipaksa tunduk. Suara mereka rapat, tegas, tapi dalam satu waktu juga memberimu rasa aman, seperti pelukan ibu, seperti wangi ketiak kekasihmu, sesuatu yang membuatmu merasa bahwa semuanya akan baik baik saja. Bahwa kondisi brengsek, kondisi yang acak adut ini akan selesai.

Yes No Wave Music memberikan kita hadiah yang indah melalui dirilisnya album ini. Tidak sekedar teks, tidak sekedar lagu, nantinya album dalam format CD dihiasi booklet yang berisi berbagai ilustrasi indah karya Wedhar Riyadi dan resep pangan liar seperti Sup Gude, Perkedel Umbi Talas, Gethuk Suweg, dan Sayur Genjer bisa jadi pedoman asik memasak tanaman liar jika kelak terjadi zombie apocalypse. Seluruh album ini adalah karya baik yang hendaknya dibagi seluas-luasnya atas nama peradaban.

Selamat menikmati Paduan Suara Dialita. Peluk hangat, doa panjang, dan hormat dalam untuk para ibu Dialita.

(Arman Dhani)